Berita ini dikutip dari Bisnis.com, Selasa, 23 Maret 2021 | 14:59 WIB
Implementasi teknologi informasi dalam operasional bisnis asuransi umum dinilai tidak akan terkendala oleh skala perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan dengan nilai aset relatif rendah. Alih-alih menambah beban, teknologi justru dapat mendorong efisiensi. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe menjelaskan bahwa industri asuransi harus mampu memastikan ketahanannya saat ini dan pada masa mendatang.
Penggunaan teknologi informasi (TI) merupakan elemen penting untuk menunjang efektifitas dan efisiensi proses bisnis. Digitalisasi telah menjadi agenda besar lembaga jasa keuangan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu pun diperkuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menerbitkan POJK 4/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB). Beleid itu mengatur sejumlah aspek terkait manajemen risiko, mulai dari pembentukan komite pengarah TI, hingga kepemilikan pusat data dan pusat pemulihan bencana. Menurut Dody, kewajiban itu tidak akan membebani perusahaan-perusahaan asuransi umum, berapa pun skala bisnisnya.
Dody mencontohkan bahwa Komite Pengarah TI dapat diambil dari pekerja existing yang fokus ke pengembangan dan implementasi TI di perusahaan terkait. Lalu, direktur yang menangani TI pun dapat berasal dari profesional sesuai kebutuhan perusahaan. “Sehingga untuk size perusahaan yang ditentukan oleh POJK tersebut relatif tidak menambah beban biaya. Yang diharapkan adalah terciptanya efektififas proses bisnis yang berdampak kepada efisiensi biaya,” ujar Dody kepada Bisnis, Selasa (23/3/2021)
Menurutnya, implementasi TI harus dilihat sebagai alat untuk meningkatkan mutu pelayanan sehingga tujuan perusahaan tercapai. Pemanfaatan TI pun harus diiringi dengan pengelolaan yang tepat dan relevan, agar meminimalisasi berbagai risiko yang mungkin muncul.
Dody meyakini bahwa semua sistem memiliki kelemahan, sehingga pemanfaatan teknologi dalam bisnis pun berpotensi menimbulkan ancaman dan risiko baru. Oleh karena itu, perusahaan asuransi harus melakukan mitigasi dan menyusun tindak lanjut atas kerentanan tersebut. “Di situah perlunya ada tim khusus dan infrastruktur yang dimaksud tersebut. Sejalan dengan terbitnya POJK 4/2021 yang merupakan harmonisasi atas beberapa peraturan TI yang ada, maka OJK juga perlu menyusun regulasi tentang harmonisasi implementasi teklologi digital di industri perasuransian,” ujarnya.
Selain peningkatan kualitas bisnis, implementasi teknologi pun dapat mengakselerasi terwujudnya ekosistem insurtech. Perkembangan industri asuransi itu berperan penting dalam mendorong aktivitas ekonomi. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan bahwa POJK 4/2021 terbit mengingat perkembangan TI yang sangat cepat tetapi di satu sisi bersifat disruptif. Sektor IKNB pun didorong untuk meningkatkan penggunaan TI agar menggenjot produktivitas dan bisnisnya.
Di sisi lain, penggunaan TI memiliki potensi risiko yang dapat merugikan perusahaan terkait dan konsumennya. Oleh karena itu, IKNB harus dapat menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam penggunaan TI dengan mengedepankan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi (MRTI). “Hingga saat ini belum seluruh jenis LJKNB memiliki pengaturan mengenai MRTI, sementara pengaturan yang ada bagi beberapa jenis LJKNB memiliki cakupan pengaturan yang terbatas. Oleh sebab itu perlu adanya pengaturan mengenai penerapan MRTI bagi LJKNB secara komprehensif untuk seluruh LJKNB dalam satu POJK,” tulis Wimboh dalam ringkasan POJK tersebut.
Sumber berita: Bisnis.com